Ramadan bukan sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga latihan pengendalian diri, disiplin, dan kebiasaan positif. Namun, tantangan sesungguhnya muncul setelah Idul Fitri—apakah kita mampu mempertahankan kebiasaan baik atau kembali ke pola lama?
Agon

Admin Kancamu

31 March 2025

0 comments
Agon

Ramadan bukan sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga momen melatih kesabaran, disiplin, dan pengendalian diri. Selama sebulan penuh, kita membiasakan diri dengan kebiasaan positif yang memberikan dampak nyata dalam kehidupan.

Namun, tantangan sesungguhnya justru dimulai setelah bukan saat Ramadhan, tetapi pasca Idul Fitri, apakah kita mampu mempertahankan kebiasaan baik atau kembali ke pola lama tentu menjadi pertanyaan. Dari sudut pandang psikologi positif, Ramadan bisa menjadi titik awal perubahan jangka panjang jika konsistensi perilaku diterapkan dengan baik.

Ramadan sebagai Latihan Pengendalian Diri

Selama bulan puasa, kita belajar menunda keinginan dan mengelola dorongan spontan. Disiplin dalam menahan lapar dan haus bukan sekadar aturan agama, tetapi juga membangun ketahanan diri dalam berbagai aspek kehidupan. Banyak orang merasakan perubahan dalam pola pikir dan sikap setelah menjalani Ramadan dengan penuh kesadaran.

Dr. Bagus Riyono, M.A., Psikolog dari Universitas Gadjah Mada, menjelaskan bahwa puasa melatih seseorang untuk meningkatkan kontrol diri. “Selama Ramadan, kita belajar untuk tidak hanya mengontrol rasa lapar, tetapi juga dorongan emosional. Ini adalah proses yang memperkuat self-regulation, yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari,” ujarnya dalam seminar psikologi di UGM Maret lalu

Perubahan perilaku ini juga bersifat sosial. Ada semangat kebersamaan dalam menjalankan ibadah, berbagi dengan sesama, dan mempererat solidaritas. Sayangnya, setelah Ramadan, dukungan lingkungan ini sering kali berkurang, sehingga kebiasaan baik pun berisiko memudar.

Idul Fitri sebagai Momen Refleksi dan Lembaran Baru

Idul Fitri sering dimaknai sebagai ‘kembali ke fitrah’ atau kembali ke kesucian. Namun, lebih dari itu, Idul Fitri juga menjadi kesempatan untuk mengevaluasi diri. Saat merayakan kemenangan setelah sebulan berpuasa, ada baiknya kita bertanya: kebiasaan baik apa yang telah terbentuk selama Ramadan? Bagaimana cara mempertahankannya agar tidak hanya menjadi rutinitas musiman?

Dr. Andi Firmansyah, seorang pakar psikologi klinis, dalam wawancara di Jakarta pada April lalu, menyatakan, “Banyak orang melihat Idul Fitri sebagai akhir dari perjuangan sebulan penuh. Padahal, lebih bijak jika kita melihatnya sebagai awal dari kehidupan dengan kebiasaan yang lebih baik.” Ramadan seharusnya bukan sekadar fase, tetapi titik awal dari perubahan jangka panjang.

Salah satu cara menjaga perubahan ini adalah dengan membuat target sederhana dan realistis. Misalnya, tetap meluangkan waktu untuk ibadah, menjaga pola makan sehat, atau mempertahankan sikap dermawan yang telah dipupuk selama Ramadan. Dengan cara ini, kebiasaan yang terbentuk tidak akan hilang begitu saja.

Menjaga Konsistensi Pasca-Ramadan

Menjaga kebiasaan baik setelah Ramadan adalah tantangan tersendiri. Menurut Dr. Rahmat Hidayat, seorang psikolog pendidikan, dalam konferensi psikologi di Surabaya pada Mei 2024, “Buatlah target kecil yang realistis setelah Ramadan. Dengan begitu, kebiasaan positif yang sudah terbentuk tidak akan mudah hilang.” Konsistensi tidak harus langsung dalam skala besar, tetapi dapat dimulai dengan langkah kecil yang dilakukan secara berkelanjutan.

Lingkungan juga berperan penting dalam menjaga perubahan ini. Keluarga, teman, atau komunitas yang mendukung akan membantu memperkuat kebiasaan baik yang telah dibangun. Dengan berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki visi serupa, motivasi untuk terus berkembang akan lebih mudah dijaga.

Pada akhirnya, Ramadan bukan hanya soal menahan diri selama sebulan, tetapi membentuk pola pikir dan kebiasaan yang dapat bertahan lama.

Idul Fitri bukan garis akhir, melainkan awal dari perjalanan menuju kehidupan yang lebih baik. Dengan pemahaman yang benar dan komitmen yang kuat, Ramadan dapat menjadi momentum perubahan yang sesungguhnya, tidak hanya secara spiritual tetapi juga dalam keseharian kita.


Kontributor: Abdul Khair

Comments

There is no comment for this post

Leave a comment